Beranda | Artikel
Antar Ilmu, Amal, dan Iman
Senin, 7 April 2014

Segala puji bagi Allah. Rabb seru sekalian alam. Yang telah menciptakan manusia untuk menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik amalnya. Yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.

Salawat teriring salam semoga terus terlimpah kepada hamba dan rasul-Nya, kekasih-Nya, dan da’i yang mengajak kepada jalan-Nya di atas bashirah, menjadi lentera yang menerangi lembaran-lembaran sejarah umat manusia.

Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, iman adalah perkara yang sangat penting untuk kita perhatikan. Bagaimana tidak, sementara malaikat Jibril ‘alaihis salam saja diutus oleh Allah untuk bertandang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan makna iman ini kepada beliau ketika beliau sedang berkumpul di tengah para sahabatnya, dalam rangka mengajarkan Islam kepada umatnya.

Di dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Iman adalah kamu beriman kepada Allah, beriman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir; yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu)

Inilah yang biasa kita kenal dengan istilah rukun iman; [1] iman kepada Allah, [2] iman kepada malaikat, [3] iman kepada kitab-kitab, [4] iman kepada rasul-rasul, [5] iman kepada hari akhir, dan [6] iman kepada takdir.

Begitu pentingnya hadits ini, sampai-sampai Imam Muslim rahimahullah memulai kitab sahihnya di dalam Kitab al-Iman dengan hadits ini. Demikian pula kita dapati Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits ini setelah hadits innamal a’maalu bin niyaat di dalam kitabnya yang ringkas namun sarat faidah; al-Arba’in an-Nawawiyah.

Kemudian, apabila kita cermati lagi, ternyata segala kebaikan yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an -di dunia dan di akhirat- demikian pula yang dijanjikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu semuanya tidak bisa dilepaskan dari faktor keimanan. Seperti misalnya, Allah ta’ala bersumpah dalam surat al-‘Ashr bahwa semua manusia berada dalam kerugian, kecuali orang yang memiliki empat sifat, salah satu diantaranya -dan ini yang paling utama- adalah iman. Satu dalil ini saja kiranya sudah bisa menggambarkan kepada kita mengenai agungnya perkara iman.

Diantara para ulama juga, kita dapati ada yang menulis secara khusus pembahasan iman, seperti Imam Bukhari di awal-awal kitab Sahihnya -dalam Kitab al-Iman- demikian pula muridnya yaitu Imam Muslim dalam Sahihnya -juga dalam Kitab al-Iman-. Selain mereka, ada juga Imam Abu ‘Ubaid dengan Kitab al-Iman beliau, yang telah ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahumullah. Begitu pula Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan Kitab al-Iman beliau. Demikian juga Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu ta’ala dengan kitab Syarh Ushul al-Iman karya beliau.

ilmu-amal

Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama, bahwa iman mencakup pembenaran di dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota-anggota badan. Iman bertambah dan meningkat karena melakukan ketaatan dan amal salih, demikian pula ia menjadi berkurang dan merosot akibat maksiat dan kebid’ahan.

Oleh sebab itu, kita dapati para Sahabat radhiyallahu’anhum adalah orang-orang yang sangat perhatian terhadap masalah iman dan mengkhawatirkan dirinya termasuk jajaran orang yang bobrok imannya.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah -seorang tabi’in-, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan mereka semuanya khawatir dirinya terjangkit kemunafikan. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengaku bahwa imannya sejajar dengan keimanan Jibril dan Mika’il.” Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah di dalam Sahihnya secara mu’allaq/tanpa menyertakan sanadnya.

Sebagian mereka juga mengatakan, “Duduklah sejenak bersama kami, mari kita menambah keimanan walaupun sekejap.” Mereka -salafus shalih- adalah orang-orang yang hatinya begitu lembut dan mudah menerima kebenaran. Seperti dikisahkan di dalam hadits al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu yang menyebutkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat hingga membuat mata mereka mencucurkan air mata; suatu hal yang menjadi bukti kebersihan hati mereka.

Para Sahabat itulah teladan bagi kaum beriman -setelah para Nabi ‘alaihimush sholatu wa salam-; bagaimana tidak, sedangkan Allah ta’ala telah menyatakan dalam firman-Nya (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. At-Taubah : 100)

Sebagaimana Allah juga berfirman -dengan arah pembicaraan kepada para Sahabat- (yang artinya), “Jika mereka itu beriman sebagaimana kalian beriman, maka sungguh mereka telah mendapatkan hidayah.” (QS. Al-Baqarah)

Para Sahabat itu -sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu– adalah orang-orang yang paling baik hatinya di tengah umat ini. Oleh sebab itu Allah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi-Nya dan pendamping dalam membela agama-Nya.

Iman sebagaimana yang dipahami oleh salafus shalih, bukanlah sekedar tulisan di atas kertas, ceramah di atas mimbar, atau hafalan di dalam dada. Akan tetapi iman itu -sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan al-Bashri rahimahullah– adalah ‘apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan’.

Hal ini menunjukkan kepada kita betapa erat kaitan antara iman dan amalan. Oleh sebab itu, di dalam surat al-‘Ashr Allah menyandingkan iman dan amal salih. Bukan karena amal salih bukan bagian dari iman, akan tetapi karena begitu besarnya peran dan kedudukan amal di dalam bangunan iman. Dari dalil-dalil pun kita bisa mengerti bahwa dalam sebagian keadaan, orang-orang yang meninggalkan amal disebut dengan istilah ‘tidak beriman’, atau ‘tidak sempurna imannya’, atau ‘kafir’, atau ‘zalim, atau ‘fasik’, dsb.

Dengan demikian, sangat penting bagi kita untuk memahami hakikat iman dengan benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang iman.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa iman itu tersusun dari keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal dengan anggota badan. Hadits ini juga menunjukkan bahwa iman itu bertingkat-tingkat; ada yang jika ditinggalkan membatalkan iman, dan ada yang jika ditinggalkan merusak atau melemahkan iman seorang hamba. Bisa dibaca misalnya dalam penjelasan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Lum’atul I’tiqad.

Sehingga bisa kita tarik kesimpulan bahwa tidak selamanya ungkapan ‘tidak beriman’ itu menunjukkan kafirnya orang yang melakukan perbuatan tersebut. Misalnya adalah dalil yang menyatakan ‘tidak beriman orang yang tidak amanah’, demikian juga ‘tidak beriman orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya’, demikian pula ‘tidaklah berzina seorang pezina dalam keadaan beriman’, dsb. Ini semua memberikan pelajaran kepada kita untuk memahami dalil-dalil syari’at dengan tepat dan benar. Sebab keliru dalam memahami masalah ini memiliki dampak yang sangat fatal; yaitu mengeluarkan orang yang masih berstatus Islam dan beriman kepada wilayah kekafiran akbar alias murtad; sebagaimana kesesatan kaum Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar.

Hal ini sekaligus memberikan pencerahan kepada kita, bahwa membangun keimanan di dalam diri kita tidak bisa dilepaskan dari dalil-dalil syari’at; yaitu al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan dalil-dalil syari’at itulah yang menjadi pondasi dan pilar tegaknya keimanan. Karena itu kita dapati para ulama sangat perhatian kepada masalah ilmu sebagaimana mereka perhatian dalam masalah iman. Sebagaimana Imam Bukhari rahimahullahu ta’ala di dalam kitab Sahihnya; beliau membawakan Kitab al-Iman di dalam Sahih-nya setelah Kitab Bad’ul Wahyi -permulaan turunnya wahyu- kemudian sesudahnya beliau membawakan Kitab al-‘Ilmi. Sungguh susunan yang sangat indah dan bermakna.

Pembahasan iman kepada Allah -sebagai pokok dari semua rukun iman- ini biasa disebut oleh para ulama dengan istilah Fikih Akbar/fikih terbesar. Pembahasan tentang iman ini pula yang disebut dengan istilah thaharah ma’nawiyah; yaitu membersihkan diri dari kotoran penyimpangan keyakinan semacam syirik, bid’ah, kekafiran, hasad, dan kemunafikan. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Faqih Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, bahwa thaharah ma’nawiyah ini jauh lebih penting dan lebih utama -dan lebih wajib- daripada thaharah hissiyah/bersuci secara fisik.

Senada dengan keterangan di atas, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menerangkan tentang tafsir ayat (yang artinya), “Dan pakaianmu maka sucikanlah.” Beliau katakan, maksudnya adalah, “Bersihkanlah amal-amalmu dari syirik.” Demikian pula, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa istilah ‘pakaian’ dalam bahasa arab terkadang dipakai untuk menyebut hati; hati disebut dengan ‘pakaian’. Oleh sebab itu makna dari ‘pakaianmu maka bersihkanlah’ adalah ‘bersihkanlah hatimu’ yaitu dari kotoran-kotoran yang merusak dan mengotori keselamatan dan kesucian hati.

Hal ini selaras dengan firman Allah (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang datang kepada Allah dengan membawa hati yang selamat/qolbun salim.” (QS. Asy-Syu’ara’ : 88-89)

Abu ‘Utsman an-Naisaburi rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya adalah -hati yang- selamat dari bid’ah dan merasa tentram dengan as-Sunnah.” Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, yaitu yang bersih dari kotoran dosa dan kesyirikan.

Hal ini juga mengingatkan kita, bahwa hakikat ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Orang yang berilmu senantiasa dalam kebodohan selama dia belum mengamalkan ilmunya. Apabila dia telah beramal dengan ilmunya, barulah dia menjadi orang yang ‘alim/ahli ilmu yang sejati.”

Oleh sebab itu, kita dapati para ulama sangat perhatian dalam masalah ini. Seperti Imam al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah menulis kitabnya Iqtidha’ul ‘Ilmi al-‘Amala yang telah ditahqiq juga oleh Syaikh al-Albani rahimahullah. Demikian pula Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah dalam kitabnya yang mungil dan sarat faidah Tsamaratul ‘Ilmi al-Amalu.

Bahkan, sebagian para ulama menyebutkan bahwa diantara adab yang semestinya dimiliki seorang da’i adalah harus beramal dengan ilmunya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Betapa besar kemurkaan di sisi Allah, ketika kalian mengucapkan apa-apa yang kalian sendiri tidak kerjakan.” Walaupun kewajiban dakwah tidaklah dipersyaratkan dengan hal itu, namun ini menunjukkan betapa pentingnya hal itu.

Demikian pula, nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Abdullah al-Mar’i hafizhahullah di dalam salah satu khutbah beliau di Ma’had al-Anshor Jogjakarta beberapa tahun silam; yang pada intinya menghasung segenap kaum muslimin -terlebih lagi para da’i dan penimba ilmu- untuk mengamalkan apa-apa yang telah diketahuinya. Beliau pun membawakan atsar dari Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu itu diutamakan daripada selainnya, karena dengan sarana ilmu itulah orang akan menjadi bertakwa kepada Allah.” Ilmu ibarat pohon, dan amal adalah buahnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan telah mengajarkan kepada kita untuk berdoa selepas Sholat Subuh, ‘Allahumma inni as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqobbalan’ yang artinya; “Ya Allah aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.” Di dalam doa ini terkandung permintaan untuk mendapatkan ilmu dan amal salih.

Demikian pula, apabila kita cermati dalam sebagian ceramah para ulama -seperti Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah– beliau sering menutup ceramahnya dengan doa agar Allah melimpahkan ilmu yang bermanfaat dan amal salih bagi kita. Bahkan, demikian pula yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam sebagian risalahnya tatkala beliau mengatakan, “Ketahuilah -saudaraku-, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya…” Sungguh, menunjukkan bahwa menyertai ilmu dengan amal ini adalah perkara yang sangat penting dan amat ditekankan.

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Tidaklah diterima ucapan tanpa amalan. Dan tidak diterima ucapan dan amalan apabila tanpa niat. Dan tidaklah diterima ucapan, amalan, dan niat apabila tidak bersesuaian dengan as-Sunnah.”

Hal ini kembali menunjukkan kepada kita kebenaran firman Allah (yang artinya), “Dia lah [Allah] yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama…” Para ulama menafsirkan, petunjuk adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan agama yang benar adalah amal salih.

Oleh sebab itu setiap hari kita pun berdoa dalam sholat kita supaya diberi petunjuk jalan orang-orang yang mendapatkan kenikmatan, bukan jalannya orang yang dimurkai -akibat tidak mengamalkan ilmu- dan bukan jalannya orang yang sesat -akibat beramal tanpa landasan ilmu-. Demikianlah yang bisa kami sampaikan, semoga ada manfaatnya. Wallahu a’lam bish shawaab. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/antar-ilmu-amal-dan-iman/